NPM : 13511565
KELAS : 2PA10
[ TUGAS 2 ]
A. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri merupakan suatu
proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah prilaku individu agar terjadi
hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas
dasar pengertian tersebut dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia
sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan
lingkungannya.
2.
Konsep
Penyesuaian Diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai adaptasi dapat
mempertahankan eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah
dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan
sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti
menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. Penyesuaian sebagai
penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi
respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik,
kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien.
Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang
memenuhi syarat. Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional.
Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki responss emosional
yang tepat pada setiap situasi. Disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha
manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
3. Pertumbuhan
Personal
a.
Penekanan pertumbuhan, penyesuain diri dan pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah)
yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis.
Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner (1957)bahwa perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas itu lambat laun bagian-bagiannya akan menjadi semakin nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan.
b. Variasi dalam pertumbuhan
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya.
Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah)
yang herediter dalam bentuk proses aktif secara berkesinambungan. Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis.
Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner (1957)bahwa perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas itu lambat laun bagian-bagiannya akan menjadi semakin nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan.
b. Variasi dalam pertumbuhan
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya.
c. Kondisi-kondisi untuk
bertumbuh
Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe tempramen (Surya, 1977). Misalnya orang yang tergolong ekstomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapuh, ditandai dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, dan pemilu. Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gangguan dalam sisitem saraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Dengan demikian, kondisi sistem tubuh yang baik merupakan syaraf bagi tercapainya proses penyesuaian diri yang baik. Disamping itu, kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berhubungan dengan penyesuaian diri, kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik pula. Ini berarti bahwa gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya.
Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe tempramen (Surya, 1977). Misalnya orang yang tergolong ekstomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapuh, ditandai dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, dan pemilu. Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gangguan dalam sisitem saraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Dengan demikian, kondisi sistem tubuh yang baik merupakan syaraf bagi tercapainya proses penyesuaian diri yang baik. Disamping itu, kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berhubungan dengan penyesuaian diri, kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik pula. Ini berarti bahwa gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya.
d. Fenomenologi
pertumbuhan
Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap, orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik. Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33):
Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap, orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik. Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33):
B.
Stress
1.
Pengertian Stress, Efek-efek Stess “General Adaptation Syndrom”
. menurut Hans Selye
Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan
stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang
dikenakan padanya. Stress adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang
bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi
sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.
Hans Selye
(1946,1976) telah melakukan riset terhadap 2 respon fisiologis tubuh terhadap
stress : Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).
a. Local Adaptation Syndrom (LAS)
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat
terhadap stress. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan
luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dll. Responnya berjangka pendek.
Karakteristik dari LAS :
1) respon yang terjadi hanya setempat dan
tidak melibatkan semua system
2) respon bersifat adaptif; diperlukan
stressor untuk menstimulasikannya.
3) respon bersifat jangka pendek dan
tidak terus menerus.
4) respon bersifat restorative.
Respon LAS ini banyak kita temui dalam kehidupan kita
sehari – hari seperti yang diuraikan dibawah ini :
1) Respon
inflamasi
Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan
infeksi. Respon ini memusatkan diri hanya pada area tubuh yang trauma sehingga
penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses penyembuhan dapat berlangsung
cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase:
Fase pertama : adanya perubahan sel dan system
sirkulasi, dimulai dengan penyempitan pembuluh darah ditempat cedera dan secara
bersamaan teraktifasinya kini,histamin, sel darah putih. Kini berperan dalam
memperbaiki permeabilitas kapiler sehingga protein, leucosit dan cairan yang
lain dapat masuk ketempat yang cedera tersebut.
Fase kedua : pelepasan eksudat. Eksudat adalah
kombinasi cairan dan sel yang telah mati dan bahan lain yang dihasilkan
ditempat cedera.
Fase ketiga : Regenerasi jaringan dan terbentuknya
jaringan parut.
2) Respon
refleks nyeri
Respon ini merupakan respon adaptif yang
bertujuanmelindungi tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki
ketika bersentuhan dengan benda tajam.
b. General Adaptation Syndrom (GAS)
Gas merupakan respon fisiologis dari
seluruh tubuh terhadap stres. Respon yang terlibat didalamanya adalah sistem
saraf otonom dan sistem endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering disamakan
dengan Sistem Neuroendokrin. Ada 3 fase GAS yaitu :
1) Fase
Alarm ( Waspada)
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan
dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis “fight or
flight” dan reaksi fisiologis. Tanda fisik : curah jantung meningkat, peredaran
darah cepat, darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan
ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress memengaruhi denyut
nadi, ketegangan otot dan daya tahan tubuh menurun
Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme
pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya
volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya
dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan
energi untuk keperluan adaptasi, teraktifasinya epineprin dan norepineprin
mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot.
Peningkatan ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktifitas hormonal yang luas ini
menyiapkan individu untuk melakukan “ respons melawan atau menghindar “. Respon
ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor masih menetap maka
individu akan masuk ke dalam fase resistensi.
2) Fase
Resistance (Melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi à gejala
stress menurun àtau normal
tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan tenaga.
tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, cardiac out put. Individu tersebut berupaya beradaptasi terhadap stressor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel – sel yang rusak. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapa terakhir dari GAS yaitu : Fase kehabisan tenaga.
3) Fase
Exhaustion (Kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang
belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi penyesuaian terkuras.
Timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala,
gangguan mental, penyakit arteri koroner, dll. Bila usaha melawan tidak dapat
lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian.
Tahap ini cadangan energi telah menipis
atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidak mampuan
tubuh untuk mepertahankan diri terhadap stressor inilah yang akan berdampak
pada kematian individu tersebut.
2.
Faktor-faktor Individual dan Sosial yang
Menjadi Penyebeb Stress
a. Faktor sosial.
Selain peristiwa penting, ternyata tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres.
Dukungan sosial mencakup:
Dukungan emosional, seperti rasa dikasihi;
Dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan
Dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.
b. Faktor Individual
Tatkala seseorang menjumpai stresor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stresor itu yaitu: Berapa lamanya (duration) ia harus menghadapi stresor itu dan berapa terduganya stresor itu (predictability).
Selain peristiwa penting, ternyata tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres.
Dukungan sosial mencakup:
Dukungan emosional, seperti rasa dikasihi;
Dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan
Dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.
b. Faktor Individual
Tatkala seseorang menjumpai stresor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stresor itu yaitu: Berapa lamanya (duration) ia harus menghadapi stresor itu dan berapa terduganya stresor itu (predictability).
3. Tipe-tipe Sterss
a. Tekanan
Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri.
b. Konflik.
Konflik terjadi ketika kita berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
- Konflik menjauh-menjauh: individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai. Misalnya seorang pelajar yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk, apalagi sampai tidak naik kelas.
- Konflik mendekat-mendekat. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkannya. Misalnya, ada suatu acara seminar sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat sama juga ada film sangat menarik untuk ditonton.
- Konflik mendekat-menjauh. Terjadi ketika individu terjerat dalam situasi di mana ia tertarik sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus lebih sulit diselesaikan. Misalnya ketika pasangan berpikir tentang apakah akan segera memiliki anak atau tidak. Memiliki anak sangat diinginkan karena pasangan dapat belajar menjadi orang dewasa yang sungguh-sungguh bertanggungjawab atas makhluk kecil yang sepenuhnya tak berdaya. Di sisi lain, ada tuntutan finansial, waktu, kemungkinan kehadiran anak akan mengganggu relasi suami-istri, dan lain sebagainya.
c. Frustrasi.
Frustrasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan dalam pencapaiannya.
- Bila kita telah berjuang keras dan gagal, kita mengalami frustrasi.
- Bila kita dalam keadaan terdesak dan terburu-buru, kemudian terhambat untuk melakukan sesuatu (misal jalanan macet) kita juga dapat merasa frustrasi.
- Bila kita sangat memerlukan sesuatu (misalnya lapar dan butuh makanan), dan sesuatu itu tidak dapat diperoleh, kita juga mengalami frustrasi.
Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri.
b. Konflik.
Konflik terjadi ketika kita berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
- Konflik menjauh-menjauh: individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai. Misalnya seorang pelajar yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk, apalagi sampai tidak naik kelas.
- Konflik mendekat-mendekat. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkannya. Misalnya, ada suatu acara seminar sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat sama juga ada film sangat menarik untuk ditonton.
- Konflik mendekat-menjauh. Terjadi ketika individu terjerat dalam situasi di mana ia tertarik sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus lebih sulit diselesaikan. Misalnya ketika pasangan berpikir tentang apakah akan segera memiliki anak atau tidak. Memiliki anak sangat diinginkan karena pasangan dapat belajar menjadi orang dewasa yang sungguh-sungguh bertanggungjawab atas makhluk kecil yang sepenuhnya tak berdaya. Di sisi lain, ada tuntutan finansial, waktu, kemungkinan kehadiran anak akan mengganggu relasi suami-istri, dan lain sebagainya.
c. Frustrasi.
Frustrasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan dalam pencapaiannya.
- Bila kita telah berjuang keras dan gagal, kita mengalami frustrasi.
- Bila kita dalam keadaan terdesak dan terburu-buru, kemudian terhambat untuk melakukan sesuatu (misal jalanan macet) kita juga dapat merasa frustrasi.
- Bila kita sangat memerlukan sesuatu (misalnya lapar dan butuh makanan), dan sesuatu itu tidak dapat diperoleh, kita juga mengalami frustrasi.
d.
Kecemasan
Respon yang paling
umum terhadap suatu stresor adalah kecemasan. Kecemasan adalah emosi tidak
menyenangkan yang ditandai oleh perasaan seperti “kuatir”, “prihatin”,
“tegang”, “takut” yang dialami oleh semua manusia tetapi dengan kadar yang
berbeda-beda.
Orang yang
mengalami peristiwa di luar rentang penderitaan manusia normal ( misalnya
bencana alam , penculikan dll) akan mengalami suatu kumpulan gejala berat yang
berkaitan dengan kecemasan dan di kenal sebagai gangguan stress pasca-traumatik . gejala utamanya adalah:
a)
Kondisi
mati rasa terhadap dunia luar, yang
ditandai dengan hilangnya minat terhadap aktivitas dahulu dan adanya rasa
tersingkir dari orang lain.
b)
Kecenderungan
menghidupkan trauma secara berulang-ulang dalam kenangan dan mimpi.
c)
Gangguan
tidur, sulit berkonsentrasi dan kesiagaan yang berlebihan ( over alertness);
sebagian individu yang selamat dari bencana, misalnya, merasa bersalah karena
banyak orang lain yang tidak selamat.
4. Mekanisme Pertahanan
Diri dan Strategi Coping
1. Menghilangkan stres mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah
Menurut Lazarus (dalam Santrock, 2003 : 566) penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
a. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.
b. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping)adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.
2. Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar (Santrock, 2003 : 567) :
a. strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
b. strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres
Menurut Ebata & Moos, 1994 (dalam Santrock, 2003 : 567) individu yang menggunakan strategi mendekat untuk menghadapi stres adalah remaja yang berusia lebih tua, lebih aktif, menilai stresor utama yang muncul sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan sebagai suatu tantangan, dan memiliki sumber daya sosial yang dapat digunakan. Sedangkan, individu yang menggunakan strategi menghindar mudah merasa tertekan dan mengalami stres, memiliki stresor yang lebih kronis, dan telah mengalami kejadian-kejadian yang lebih negatif dalam kehidupannya selama tahun sebelumnya.
3. Berpikir positif dan self-efficacy
Menurut Bandura (dalam Santrock, 2003 : 567) self-efficacy adalah sikap optimis yang memberikan perasaan dapat mengendalikan lingkungannya sendiri.
Menurut model realitas kenyataan dan khayalan diri yang dikemukan oleh Baumeister, individu dengan penyesuaian diri yang terbaik seringkali memiliki khayalan tentang diri mereka sendiri yang sedikit di atas rata-rata. Memiliki pendapat yang terlalu dibesar-besarkan mengenai diri sendiri atau berpikir terlalu negatif mengenai diri sendiri dapat mengakibatkan konsekuensi yang negatif. Bagi beberapa orang, melihat segala sesuatu dengan terlalu cermat dapat mengakibatkan merasa tertekan. Secara keseluruhan, dalam kebanyakan situasi, orientasi yang berdasar pada kenyataan atau khayalan yang sedikit di atas rata-rata dapat menjadi yang paling efektif (dalam Santrock, 2003 : 568).
4. Sistem dukungan
Menurut East, Gottlieb, O’Brien, Seiffge-Krenke, Youniss & Smollar (dalam Santrock, 2003 : 568), keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain – terutama dengan keluarga dan teman – secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres.
5. Berbagai strategi penanganan stres
Dalam penanganan stres dapat menggunakan berbagai strategi coping, karena stres juga disebabkan tidak hanya oleh satu faktor, melainkan oleh berbagai faktor (Susman, 1991 dalam Santrock, 2003 : 569).
1. Menghilangkan stres mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah
Menurut Lazarus (dalam Santrock, 2003 : 566) penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
a. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.
b. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping)adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.
2. Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar (Santrock, 2003 : 567) :
a. strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
b. strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres
Menurut Ebata & Moos, 1994 (dalam Santrock, 2003 : 567) individu yang menggunakan strategi mendekat untuk menghadapi stres adalah remaja yang berusia lebih tua, lebih aktif, menilai stresor utama yang muncul sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan sebagai suatu tantangan, dan memiliki sumber daya sosial yang dapat digunakan. Sedangkan, individu yang menggunakan strategi menghindar mudah merasa tertekan dan mengalami stres, memiliki stresor yang lebih kronis, dan telah mengalami kejadian-kejadian yang lebih negatif dalam kehidupannya selama tahun sebelumnya.
3. Berpikir positif dan self-efficacy
Menurut Bandura (dalam Santrock, 2003 : 567) self-efficacy adalah sikap optimis yang memberikan perasaan dapat mengendalikan lingkungannya sendiri.
Menurut model realitas kenyataan dan khayalan diri yang dikemukan oleh Baumeister, individu dengan penyesuaian diri yang terbaik seringkali memiliki khayalan tentang diri mereka sendiri yang sedikit di atas rata-rata. Memiliki pendapat yang terlalu dibesar-besarkan mengenai diri sendiri atau berpikir terlalu negatif mengenai diri sendiri dapat mengakibatkan konsekuensi yang negatif. Bagi beberapa orang, melihat segala sesuatu dengan terlalu cermat dapat mengakibatkan merasa tertekan. Secara keseluruhan, dalam kebanyakan situasi, orientasi yang berdasar pada kenyataan atau khayalan yang sedikit di atas rata-rata dapat menjadi yang paling efektif (dalam Santrock, 2003 : 568).
4. Sistem dukungan
Menurut East, Gottlieb, O’Brien, Seiffge-Krenke, Youniss & Smollar (dalam Santrock, 2003 : 568), keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain – terutama dengan keluarga dan teman – secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres.
5. Berbagai strategi penanganan stres
Dalam penanganan stres dapat menggunakan berbagai strategi coping, karena stres juga disebabkan tidak hanya oleh satu faktor, melainkan oleh berbagai faktor (Susman, 1991 dalam Santrock, 2003 : 569).
5. Pendekatan
Problem Solving Terhadap Stress
1. Problem Solving
Kita mengalahkan stress dengan cara menyelesaikan problem stressor (hal yangmembuat stress itu). Misalnya, kita stress karena menderita suatu penyakit, maka kitamenyelesaikan masalah dengan berobat sehingga penyakit kita bisa sembuh. Ataubisa juga dengan mengusahakan agar kita bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi ( bila situasinya sendiri tidak bisa berubah).
1. Problem Solving
Kita mengalahkan stress dengan cara menyelesaikan problem stressor (hal yangmembuat stress itu). Misalnya, kita stress karena menderita suatu penyakit, maka kitamenyelesaikan masalah dengan berobat sehingga penyakit kita bisa sembuh. Ataubisa juga dengan mengusahakan agar kita bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi ( bila situasinya sendiri tidak bisa berubah).
Sumber :
Basuki, Heru. 2008. Psikologi Umum. Jakarta :
Universitas Gunadarma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar